Minggu, 21 Maret 2010

Teori Belajar Bermakna dari David P Ausubel

Teori pembelajaran Ausubel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori pembelajaran yang menjadi dasar dalam cooperative learning. David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.

Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :
1. Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran
2. Tentukan konsep-konsep yang relevan
3. Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh.
4. Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
5. Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta konsep.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat relajar.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation.
Empat type belajar menurut Ausubel , yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menmukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.


Sabtu, 20 Maret 2010

TEORI HIRARKI BELAJAR DARI ROBERT M GAGNE

Robert M Gagne adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang mengembangkan pendekatan perilaku yang elektik. Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya dimaksudkan untuk menemukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.


Robert M Gagne membedakan 8 type belajar yakni :
1. Signal learning (belajar isyarat)
2. Stimulus-response learning (belajar stimulus-respons)
3. Chaining ( rantai atau rangkaian)
4. Verbal Association (asosiasi verbal)
5. Discrimination learning (belajar diskriminasi)
6. Concept learning (belajar konsep)
7. Rule learning (belajar aturan)
8. Problem solving (memecahkan masalah)
Empat fase dalam belajar :
Belajar berlangsung dalam empat fase, yakni (1) fase apprehending, (2) fase acquisition, (3) fase storage, dan (4) fase retrieval. Keempat fase ini berlangsung berturut-turut.
Dalam fase apprehending seorang harus memperhatikan stimulus tertentu, harus menangkap artinya dan memahaminya. Suatu stimulus dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, misalnya “sakura” dapat ditafsirkan sebagai bunga di Jepang atau berbagai nama film.
Setelah itu terjadi fase acquisition dan ini terbukti dari kesanggupan yang diperoleh seseorang untuk melakukan sesuatu yang belum diketahuinya sebelumnya.
Kemampuan yang baru itu disimpan. Ini disebut fase storage. Ada kalanya apa yang dipelajari itu disimpan atau diingat sebentar saja, misalnya beberapa menit seperti nomor telepon untuk memutar nomor tertentu, dapat pula diingat sepanjang hiidup. Jadi ada ingatan jangka pendek, ada pula ingatan jangka panjang. Yang terakhir ini sangat penting bagi pendidikan.
Apa yang disimpan itu pada suatu waktu diperlukan dan diambil dari simpanan. Ini disebut fase retrieval atau pengambilan kembali. Retrieval ini tidak semata-mata mengeluarkan kembali apa yang disimpan, akan tetapi menggunakannya dalam situasi tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah. Ada kemungkinan bahwa apa yang disimpan itu dikeluarkan dalam bentuk yang lain daripada sewaktu disimpan. Gejala ini termasuk transfer apa yang dipelajari itu.
Keempat fase ini sukar dipisahkan dengan tegas. Kedua fase pertama dapat berlangsung dalam beberapa detik. Keduanya dapat dipandang sebagai perbuatan belajar, sedangkan fase tiga dan empat dipandang sebagai mengingat. Belajar hanya terjadi bila ada sesuatu yang diingat dari apa yang dipelajari itu.
Hirarki dalam Belajar
Untuk mempelajari sesuatu, untuk dapat memecahkan suatu masalah, seseorang harus mampu menguasai kemampuan-kemampuan atau aturan-aturan yang lebih sederhana yang merupakan prasyarat guna pemecahannya. Setiap aturan pada tingkat yang lebih tinggi memerlukan penguasaan aturan pada tingkat yang lebih rendah. Bila ada sesuatu yang tidak dikuasai dalam hierarki atau jenjang itu, maka pelajar akan menghadapi kesulitan.
Perencanaan Hierarki dalam Mengajar
Adanya jenjang dalam mempelajari sesuatu mengharuskan guru untuk merencanakan langkah-langkah yang menuju ke arah penguasaan bahan pelajaran. Jadi kita dapat menganalisis prasyarat untuk memahami bahan pelajaran yang akan kita berikan, dengan menganalisis prasyarat-prasyarat atau langkah-langkah secara berangsur surut, sampai aturan atau konsep yang paling sederhana. Dengan demikian kita akan memperoleh semacam “peta” tentang hal-hal yang diperlukan. Dengan adanya analisis langkah-langkah itu kita ketahui secara sistematis jalan mana yang harus ditempuh oleh murid agar memahami bahan pelajaran itu.

TEORI PENGUATAN DARI BURRHUS FREDERIC SKINNER (1904 – 1990)

TEORI PENGUATAN DARI BURRHUS FREDERIC SKINNER (1904 – 1990)
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.



Konsep-konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.

Aplikasi Teori Skinner Terhadap Pembelajaran
1. Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
2. Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diperkuat.
3. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
4. Materi pelajaran digunakan sistem modul.
5. Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
6. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
7. Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
8. Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.
9. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
10. Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)
11. Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan.
12. Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.
13. Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
14. Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
15. Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat, administrasi kompleks.

Kamis, 11 Maret 2010

TEORI ASOSIASI DARI EDWARD LEE THORNDIKE (1874 – 1949)

Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).



Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (dalam Asnaldi, 2008) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
• Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
• Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
• Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain. Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya. Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya trasfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain. Misalnya, kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik. Dengan demikian kemampuan mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering melakukan latihan.

Aplikasi Teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran
Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang diajarkan. Mengajar yang baik adalah : tahu tujuan pendidikan, tahu apa yang hendak diajarkan artinya tahu materi apa yang harus diberikan, respons yang akan diharapkan dan tahu kapan “hadiah” selayaknya diberikan kepada peserta didik.
Beberapa aturan yang dibuat Thorndike berhubungan dengan pengajaran:
 Perhatikan situasi peserta didik
 Perhatikan respons yang diharapkan dari situasi tersebut
 Ciptakan hubungan respons tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya
 Situasi-situasi yang sama jangan diindahkan sekiranya memutuskan hubungan tersebut.
 Buat hubungan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perbuatan nyata dari peserta didik
 Bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan-hubungan lain yang sejenis
 Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Selasa, 12 Januari 2010

Seperti apakah wanita sholehah itu?

Bedaknyanya adalah basuhan air wudhu.
Lipstiknya adalah memperbanyak dzikir kepada Allah di mana pun berada.
Celak matanya adalah memperbanyak bacaan Al Quran.
Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia polos tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukan hati tiap-tiap orang di sekitarnya


Wanita shalihah tidak mau kekayaan termahalnya berupa iman akan rontok.
Dia sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya justru bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah).
Wanita shalihah itu murah senyum, karena senyum sendiri adalah shadaqah. Namun, tentu saja senyumnya proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Intinya, senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain. Bisa dibayangkan jika kaum wanita kerja keras berlatih senyum manis semata untuk meluluhkan hati laki-laki.

Wanita shalihah juga harus pintar dalam bergaul dengan siapapun.
Dengan pergaulan itu ilmunya akan terus bertambah, sebab ia akan selalu mengambil hikmah dari orang-orang yang ia temui. Kedekatannya kepada Allah semakin baik sehingga hal itu berbuah kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Pendek kata, hubungan kemanusiaan dan taqarrub kepada Allah dilakukan dengan sebaik mungkin.

Ia juga selalu menjaga akhlaknya. Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah dari kemampuannya memelihara rasa malu. Dengan adanya rasa malu, segala tutur kata dan tindak tanduknya akan selalu terkontrol. Tidak akan ia berbuat sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al Quran dan As Sunnah. Dan tentu saja godaan setan bagi dirinya akan sangat kuat. Jika ia tidak mampu melawan godaan tersebut, maka bisa jadi kualitas imannya berkurang. Semakin kurang iman seseorang, maka makin kurang rasa malunya. Semakin kurang rasa malunya, maka makin buruk kualitas akhlaknya.

Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Karena ia yakin betul bahwa Allah tidak akan pernah meleset memberikan karunia kepada hamba-Nya. Makin ia menjaga kehormatan diri dan keluarganya, maka Allah akan memberikan karunia terbaik baginya di dunia dan di akhirat. (copy from Reira Finalista Sirsaeba)


Senin, 11 Januari 2010

10 Make Up Muslimah

 Jadikanlah “GHADUL BASHAR” (menundukkan pandangan) sebagai “HIASAN MATA” anda, niscaya akan semakin bening dan jernih.
 Oleskan “LIPSTIK KEJUJURAN” pada bibir anda, niscaya akan semakin manis.


 Gunakanlah “PEMERAH PIPI” anda dengan kosmetik yang terbuat dari rasa malu yang dibuat dari salon iman.
 Pakailah “SABUN ISTIGFAR” yangakan menghilangkan semua dosa dan kesalahan yang anda lakukan.
 Rawatlah rambut anda dengan “SELENDANG ISLAMI” yang akan menghilangkan ketombe pandangan laki-laki yang membahayakan.
 Hiasilah kedua tangan anda dengan “GELANG TAWADHU”
 Hiasilah jari-jari anda dengan “CINCIN UKHUWAH”
 Pakilah “GIWANG KESOPANAN” pada telinga anda
 Sebaik-baik kalung adalah “KALUNG KESUCIAN”
 Bedakilah wajah anda dengan “AIR WUDHU” niscaya akan bercahaya di akhirat

Minggu, 03 Januari 2010

MENGAJAR MELALUI PENYELESAIAN SOAL

1. Pendahuluan

Penyelesaian soal adalah bagian yang amat penting, bahkan paling penting dalam pembelajaran matematika. Kita sepakat bahwa mampu menyelesaikan soal merupakan tujuan utama belajar matematika. Banyak ahli berpendapat bahwa pembelajaran yang berorientasi atau memfokuskan pada penyelesaian soal akan memberi hasil yang bagus dan mampu mengatasi kelemahan pembelajaran matematika selama ini. Brownwell misalnya, sejak tahun 1920 menekankan pentingnya penyelesaian soal dalam pembelajaran matematika. Bahkan “peranan soal-soal dalam pengembangan aktivitas matematis“ telah terpilih oleh The International Commission on Mathematics Instruction sebagai salah satu pokok bahasan dalam Kongres Internasional Matematika di Moskow (1966). Dalam tulisan ini, akan dibahas tentang tujuan mata pelajaran matematika, konsep tentang soal, dan format pelajaran tiga bagian


Tujuan Mata Pelajaran Matematika
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Matematika untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah dinyatakan bahwa tujuan mata pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa mampu:
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
Objek dalam pembelajaran matematika adalah fakta, konsep, prinsip dan skills (Bells dalam Setiawan,2005). Objek tersebut menjadi perantara bagi siswa dalam menguasai kompetensi-komptensi dasar (KD) yang dimuat dalam Standar Isi (SI) mata pelajaran matematika. Fakta adalah sembarang kemufakatan dalam matematika. Konsep adalah ide (abstrak) yang dapat digunakan untuk mengelompokkan sesuatu obyek. Suatu konsep biasa dibatasi dalam suatu ungkapan yang disaebut dengan definisi. Prinsip adalah rangkaian konsep-konsep berserta hubungannya. Skill atau keterampilan dalam matematika adalah kemampuan pengerjaan (operasi) dan prosedur yang harus dikuasai oleh siswa dengan kecepatan dan ketepatan yang tinggi, misalnya opersi hitung, operasi himpunan.
Ciri soal dalam mengukur kemampuan pemahaman konsep harus mengacu pada indikator pencapaian pemahaman konsep, yaitu:
a) Menyatakan ulang sebuah konsep
b) Mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya
c) Memberi contoh dan bukan contoh dari konsep
d) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis
e) Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep
f) Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu
g) Mengaplikasikan konsep atau algoritma ke pemecahan masalah
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
Penalaran adalah suatu proses atau suatu aktivitas berfikir untuk menarik suatu kesimpulan atau proses berfikir dalam rangka membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya (Fajar Sidik, 2003).
Ciri soal dalam dalam melatih dan mengukur kemampuan penalaran dan komunikasi adalah:
a) Menyajikan pernyatan matematika dengan lisan, tertulis, tabel, gambar, diagram
b) Mengajukan dugaan
c) Melakukan manipulasi matematika
d) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi
e) Menarik kesimpulan dari pernyataan
f) Memeriksa kesahihan suatu argumen
g) Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk mebuat generalisasi
Contoh soal hasil penalaran:
1. jika besar dua sudut dalam segitiga 60o dan 100o, maka sudut yang ketiga adalah 20o
2. sekarang Devi berumur 25 tahun, umur Desy 2 tahun lebih tua dari Devi. Jadi sekarang umur Desy 27 tahun

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya kedalam situasi baru yang belum dikenal, sehingga ciri dari soal berbentuk pemecahan masalah adalah: (1) ada tantangan dalam materi tugas atau soal, (2) masalah tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan prosedur rutin, (3) prosedur menyelesaikan masalah belum diketahui penjawab

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Tujuan itu dapat dicapai dengan baik bila setiap unsur yang berkait dengan pengelolaan pembelajaran matematika di sekolah mamahami makna dari Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran matematika dalam kaitannya dengan tujuan mata pelajaran matematika tersebut. Guru matematika di sekolah adalah sebagai ujung tombak dalam keberhasilan siswa mempelajari matematika di sekolah. Oleh karena itu guru matematika harus memahami cara-cara melakukan analisis terhadap Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, hal ini dimaksudkan agar arah pembelajaran matematika tidak menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai dan tujuan dapat tercapai secara optimal.
3. Konsep tentang Soal
Dalam pendidikan matematika, soal dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu: soal sebagai konstruksi, soal sebagai perantara dan soal sebagai aktivitas.
• Soal Sebagai Konstruksi

Sejak masa hidup Euclides, matematika dibentuk dan berkembang dari usaha-usaha penyelesaian soal-soal, yaitu soal-soal keruangan, bilangan dan sebagainya. Lakatos dengan cara yang amat menarik menunjukkan bagaimana serangkaian proses perumusan dan perumusan kembali soal-soal berlangsung dalam pembentukan suatu potong dari matematika.
Gambaran bahwa matematika terbentuk dan berkembang melalui perumusan dan penyelesaian soal-soal mungkin tidak tampak dalam pelajaran matematika yang berlangsung di kelas-kelas, karena yang disajikan di kelas-kelas umumnya merupakan hasil yang sudah diatur kembali urutan dan hubungan antara bagian-bagiannya. Namun banyak pengajar yang menyadari peranan sentral dari perumusan dan penyelesaian soal-soal dalam matematika, dan sepakat bahwa kemampuan menyelesaikan soal harus menjadi tujuan dari pengajaran matematika. Goldberg (1981) mengatakan: “What mathematics is really all about problem solving and our job is to teach our students how to do it”. Inti dari matematika adalah abstraksi. Jika seseorang menyelesaikan soal, maka ia mentransformasi soal itu bertingkat-tingkat sampai pada tujuan yaitu jawaban soal tersebut. Untuk mentransformasi soal, seseorang memerlukan kemampuan untuk menembus permukaan soal sampai ke dasarnya yaitu struktur matematisnya. Kemampuan semacam itu, merupakan ciri siswa yang berkemampuan tinggi dalam belajar matematika.
• Soal Sebagai Perantara

Dari segi pedagogik, soal adalah suatu alat atau perantara untuk menuju satu atau beberapa sasaran. Salah satu sasaran adalah agar siswa mampu menerapkan ide-ide matematis dalam situasi-situasi yang belum pernah dialaminya. Sedangkan sasaran lain adalah agar siswa melihat atau mengerti kepentingan dan kegunaan konsep-konsep maupun teknik-teknik yang sudah diperlajarinya. Dalam hal ini, yang lebih penting bukannya mengingat jawaban soal tersebut, melainkan mengingat bahwa soal semacam itu penting dan dapat diselesaikan dengan bermacam-macam teknik. Polya (1981) mengklasifikasikan soal-soal menurut pertimbangan pedagogik sebagaiberikut:
(i). One rule under your face, yaitu jenis soal yang dapat diselesaikan dengan menerapkan secara mekanis rumus yang baru saja diberikan.
(ii). Application with some choice, yaitu jenis soal yang dapat diselesaikan dengan menerapkan suatu rumus atau prosedur yang telah diberikan sebelumnya dimana siswa perlu menggunakan pertimbangan dalam menyelesai-kannya.
(iii). Choice of combination, yaitu jenis soal yang menuntut siswa untuk mengkombinasikan beberapa rumus atau contoh yang sudah diberikan.
(iv). Approaching research level, yaitu jenis soal yang tidak saja menuntut mengkombinasikan beberapa rumus atau contoh, tetapi juga memuat banyak kemungkinan pembahasan dan menuntut penalaran bertaraf tinggi.
Pembuatan soal-soal perlu mempertimbangan klasifikasi tersebut di atas agar siswa bisa berkembang kemampuannya dalam menyelesaikan soal.
• Soal Sebagai Aktivitas
Soal adalah suatu situasi dimana siswa atau sekelompok individu dibangkitkan minatnya untuk mencapai tujuan, tetapi jalan menuju tujuan tersebut terhalang, karena mereka belum mempunyai rumus atau teknik atau pola langkah-langkah yang dapat diterapkan langsung. Jadi pengertian soal sangat subjektif, tergantung bagaimana siswa menanggapi situasi itu, bagaimana situasi itu disajikan kepada siswa, kapan situasi itu dihadapi siswa, dan sebagainya. Dengan demikian suatu masalah yang diberikan bisa menjadi soal bagi siswa satu tetapi bukan merupakan soal bagi siswa yang lain. Tanggapan siswa terhadap suatu situasi yang dimaksudkan sebagai soal tergantung kepada beberapa faktor, diantaranya pengalaman mahasiwa yang bersangkutan dalam menyelesaikan beberapa soal sebelumnya. Maka sebaiknya dalam pengajaran matematika diusahakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa dalam menyelesaikan soal-soal. Sukses dalam memecahkan soal adalah pengalaman yang sangat penting bagi siswa. Pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh seorang pendidik seharusnya lebih sebagai kesempatan bagi siswa untuk belajar memecahkan soal, daripada sebagai tugas atau perintah yang wajib dikerjakan.

4. Mengajar Penyelesaian Soal
Penyelesaian soal adalah suaatu proses pencarian jawab (solusi) atas soal yang diberikan. Mengajar penyelesaian soal adalah tindakan sorang pengajar (guru/dosen) untuk mendorong atau membentu siswa agar mampu memahami soal, tertarik untuk menyelesaikan soal, mampu menggunakan semua pengetahuannya untuk merumuskan strategi penyelesaian soal, melaksanakan strategi tersebut, termasuk kemauan dan kemampuan menilai kebenaran penyelesaiannya. Agar dapat mengajarkan penyelesaian soal dengan baik, maka seorang pengajar (guru/dosen) harus mempunyai banyak pengalaman sendiri dalam menyelesaikan soal-soal.

Menurut Polya strategi umum dalam penyelesaian soal adalah strategi heuristic, yang bertingkat-tingkat yaitu :
(i). Memahami soal.
(ii). Merencanakan penyelesaian soal.
(iii). Melaksanakan rencana tersebut.
(iv). Melihat kembali kebenaran penyelesaian soal yang telah dibuat.

Disarankan agar pada saat menyelesaikan soal, siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu pada diri sendiri. Strategi yang diajukan tersebut di atas banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Tentunya masih ada strategi yang lain yang lebih terperinci, seperti yang dikemukakan oleh Arifin (1990) bahwa proses penyelesaian soal meliputi:
a. Mengamati untuk memperoleh pengertian soal yang dihadapi.
b. Merumuskan soal sesuai dengan persepsi yang diperoleh tentang soal tersebut.
c. Mengidentifikasi submasalah.
d. Menghimpun alat-alat dan sifat-sifat yang telah diketahui yang relevan dengan soal yang akan diselesaikan.
e. Mengidentifikasi alat-alat dan sifat-sifat yang membantu penyelesaian soal.
f. Mencari solusi menuju penyelesaian soal.
g. Merumuskan solusi yang diperoleh sesuai dengan lingkup soal.
h. Meninjau keberlakuan solusi dalam konteks yang lebih umum.
i. Menyusun solusi serta tinjauannya dalam suatu tulisan.
j. Mengkomunikasikan solusi yang diperoleh sesuai dengan lingkup soal.
k. Menyusun catatan mengenai soal yang masih tersisa , ataupun masalah baru yang timbul setelah solusi ditemukan.

Uraian yang dikemukakan Arifin tersebut adalah proses penyelesaian soal, khususnya soal matematika secara menyeluruh dan terperinci. Langkah-langkah tersebut perlu dilatihkan kepada siswa dan proses latihannya disesuaikan dengan tingkat kematangan siswa. Langkah-langkah yang dapat dipandang sebagai langkah dasar dalam poroses penyelesain soal meliputi langkah-langkah (a), (b), (d), (f) dan (g) dan diakhiri dengan menuliskan solusi yang diperoleh. Langkah-langkah tersebut perlu dilatihkan. Kemampuan dalam menerapkan langkah-langkah tersebut merupakan tujuan pokok dalam proses belajar matematika. Pengembangannya perlu didukung oleh kreativitas dan kemandirian yang sekaligus perlu ditumbuhkan pada diri siswa.

4. Format Pelajaran Tiga Bagian

SEBELUM Persiapan
• Pastikan bahwa soal dipahami
• Aktifkan pengetahuan awal yang berguna
• Tetapkan hasil yang diharapkan
SELAMA Anak-anak Bekerja
• Mari mengerjakan! Hindari hambatan di awal
• Dengarkan baik-baik
• Beri petunjuk yang diperlukan
• Amati dan lakukan penilaian
SESUDAH Diskusi Kelas
• Ciptakan Komunitas Pelajar
• Dengarkan! Terima penyelesaian siswa tanpa terlebih dahulu menilainya
• Ringkas ide-ide utama dan identifikasi soal-soal yang akan datang

5. Penutup
Kemampuan berikut perlu dilatihkan kepada siswa dalam pembelajaran matematika:
a. Langkah-langkah penyelesaian masalah termasuk didalamnya penulisan solusi yang diperoleh.
b. Kreatifitas dan kemandirian.
c. Menjajagi dan menggali sumber informasi.
d. Mencerna informasi.
e. Mengatur dan memanfaatkan waktu.

Kemampuan-kemampuan tersebut di atas diperlukan dalam pengembangan kemampuan menyelesaikan soal, yang dalam pelaksanaannya diperlukan berbagai sikap, diantaranya ulet, tekun, tidak mudah menyerah dan disiplin dalam bekerja.



Daftar Pustaka
Aunmansda. 2008. Penyelesaian Soal Dalam Pembelajaran Matematika [Online]. Tersedia : http://aunmansda.wordpress.com/2008/02/04/penyelesaian-soal-dalam-pembelajaran-matematika/. [4 Februari 2008].

Van De Walle, John. 2006. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. (Terjemahan Suyono). Jakarta : Erlangga.